MUHASABAH
secara sedehana bisa dipahami sama dengan intropeksi, yaitu seseorang bertanya
kepada dirinya sendiri tentang perbuatan yang dia lakukan agar jiwa menjadi
tenang, dan memastikan secara gamblang apakah perbuatan yang dilakukan dalam
kehidupannya sesuai dengan perintah-perintah Allah Ta’ala.
Demikianlah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak
pernah menutup malam harinya kecuali telah melakukan muhasabah. Bahkan seorang
Abu Bakar mampu menghisab dirinya sendiri sedemikian rupa.
Menjelang akhir wafatnya, Abu Bakar memanggil putrinya Aisyah
radhiyallahu anha. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya
semenjak kita menangani urusan kaum Muslimin, tidak pernah makan (dari dinar
dan dirham mereka). Yang kita makan adalah makanan yang keras dan sudah rusak.”
(HR. Ahmad).
Demikianlah Abu Bakar menghisab dirinya sendiri. Bahkan sahabat
utama Nabi itu tidak memperkenankan Aisyah mengambil apa yang dimiliki Abu
Bakar. Semuanya diminta untuk diserahkan kepada Umar bin Khaththab. Tentu,
langkah Abu Bakar ini sagat berat. Tetapi tatkala muhasabah telah menjadi gaya
hidup maka tidak ada yang lebih penting selain menyucikan diri demi ridha
Ilahi.
Abu Bakar dan sahabat Nabi yang lainnya benar-benar serius
menghisab dirinya. Hal tersebut tidak lain karena hadits Nabi yang berbunyi; “Kedua kaki seorang hamba tidak akan
bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang
umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa,
tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang
ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. Tirmidzi).
Jadi, sebagai apa pun dan di masa apa pun seorang Muslim wajib
melakukan muhasabah.
Sebelum hari perhitungan benar-benar kita hadapi. Pantas
jika Umar bin Khaththab sering mengingatkan umat Islam untuk selalu melakukan
muhasabah diri. “Hasibu
qobla an tuhasabu,” artinya
hitunglah diri kalian sebelum datang hari perhitungan.
Dalam pandangan Hasan Al-Bashri muhasabah akan meringankan hisab
di hari akhir. Sebab Allah tidak pernah melewatkan satu perbuatan pun melainkan
telah tercatat di sisi-Nya.
اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Allah mengumpulkan
(mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (QS.
Al-Mujadilah: 6).
Jadi tidak sepatutnya jika seorang Muslim melewati hari-harinya
tanpa melakukan muhasabah diri. Karena hanya dengan muhasabah itulah hati kita
terjaga dari kelalaian, mulut terhindar dari mengucapkan keburukan dan
perbuatan kita akan terpelihara dari segala maksiat dan kemunkaran.
Waktu
Muhasabah
Dengan demikian muhasabah berarti perlu kita lakukan setiap hari.
Mengenai waktunya, Ibnu Qayyim berkata, “Muhasabah itu dilakukan sebelum
melakukan perbuatan dan setelah melakukan perbuatan.” Demikian beliau terangkan
dalam kitabnya Mukhtashar
Minhajul Qashidin.
Muhasabah sebelum melakukan perbuatan seorang Muslim berhenti
pada awal keinginan dan kehendaknya serta tidak bersegera melakukan perbuatan
sampai jelas statusnya. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab.
Pertama, apakah perbuatan yang diiginkan mampu dilakukan atau
tidak. Kedua, apakah perbuatan itu sesuai syariat. Ketiga, apakah perbuatan itu
akan dilakukan ikhlas karena Allah.
Sementara itu, untuk muhasabah setelah melakukan perbuatan dapat
dicek melalui apakah perbuatannya sesuai syariat dan apakah dilakukan ikhlas
karena Allah. Meurut Ibnu Qayyim muhasabah setelah melakukan perbuatan ini ada
tiga macam.
Pertama,
muhasabah atas ketaatan yang diabaikan. Kedua,
muhasabah atas setiap perbuatan yang apabila ditinggalkan lebih baik daripada
dilakukan. Ketiga, muhasabah atas
perbuatan yang mubah yang tidak dilakukannya.
Lebih jauh Ibnu Qudamah berkata, “Seyogyanya bagi seorang Muslim
itu menyisihkan waktunya pada pagi hari dan sore hari untuk muhasabah diri. Dan
ia menghitungnya sebagaimana para pedagang dengan rekan-rekannya menghitung
keuntungan dan kerugian transaksi mereka setiap akhir penjualan.”
Keuntungan
Melakukan Muhasabah
Dengan gemar,rutin dan terus-menerus melakukan Muhasabah diri
maka kita akan memperoleh banyak manfaat atau keuntungan.
Pertama, mendorong diri sendiri semakin antusias dan konsisten
melakukan amal-amal sholeh, sehinnga lahir kesadaran dan harapan akan kepada
Allah hingga lahir kekhusyuk’an dalam setiap ibadah.
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ
يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90).
Kedua, tidak akan pernah lupa apalagi memandang salah karunia
dan nikmat-nikat Allah yang telah dianugerahkan. Dengan kata lain akan memantik
rasa syukur yang mendalam atas segala karunia Allah Ta’ala.
Ketiga, akan terhindar dari melakukan ghibah, fitnah dan namimah
yang akan berakibat pada hangusnya pahala dari amalan sholeh yang disusun
selama hidup. Sebab, orang yang bicaranya buruk adalah orang yang pasti tidak
pernah me-muhasabah dirinya sendiri, sehingga berlaku kata pepatah: “Semut di
seberang jauh kelihatan sedangkan gajah di depan mata tidak terlihat.”
Dengan
demikian merugilah Muslim yang menghabiskan umurnya tanpa muhasabah, sehingga
keras hatinya dan buruk perangainya. Padahal, hanya dengan muhasabah semata,
iman seorang Muslim akan terpelihara dan takwa menjadi nyata. Mari kita bangun budaya muhasabah diri sendiri.
No comments:
Post a Comment