Thursday, May 20, 2010

Merajut Etos Spiritualitas dalam Dunia Kerja


Hari-hari ini, serpihan peristiwa demi peristiwa yang melukai azas spiritualitas dan kemuliaan hidup terus bertebaran disana-sini. Padahal dunia kerja di negeri ini – tempat dimana setiap hari jutaan orang merengkuh sejumput nafkah – niscaya akan menjelma arena yang indah kala ruh spiritiualitas bisa memancar di setiap sudutnya.
Dunia kerja di negeri ini mungkin bisa terus melenting menuju kemuliaan kalau saja setiap pelakunya bisa merajut etos spiritualitas dalam sekujur raganya. Dunia kerja di negeri ini mungkin bisa terus mendaki menuju puncak keagungan kalau saja setiap pelakunya basah kuyup dengan siraman ruh spiritualitas yang terus mengalir.
Jadi ketika telah ada niatan untuk membangun dunia kerja yang penuh kemuliaan, lalu apa yang bisa disumbangkan oleh etos spiritualisme? Disini kita mencatat dua jenis kontribusi penting yang bisa disumbangkan bagi kemajuan dunia kerja dan praktek manajemen.
Yang pertama, dimensi spiritualitas memberikan pondasi yang kuat untuk membangun integritas moral yang kokoh bagi para pelaku dunai kerja (karyawan, pegawai negeri, pengusaha, kaum profesional). Itulah profil integritas yang dinaungi oleh misalnya, sikap kejujuran, kesederhanaan, dan sikap yang mengacu pada etika kebenaran serta niatan mulia untuk memanggul amanah (jujur dan dan tidak mau menyelewengkan posisi dan jabatan demi segenggam berlian).
Dimensi yang pertama ini demikian menghujam, sebab tanpa sikap moral yang amanah, bersih dan jujur, bagaimana mungkin kita bisa merajut dunia kerja yang penuh kemuliaan? Tanpa etika moralitas yang kuat, dunia kerja kita niscaya akan selalu terpelanting dalam kenistaan. Tanpa sikap amanah yang sarat dengan keikhlasan, dunia kerja kita akan senantiasa tenggelam dalam duka yang memilukan.
Kontribusi yang kedua berkaitan dengan pengembangan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Dimensi spiritualitas semestinya mampu dijadikan driving force yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan ”teologi kerja (job theology)” : atau sebuah niatan suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Maha Agung.
Ketika kita bekerja dikantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas brekele, atau ketika ketika kita mencederai amanah yang telah diberikan, maka mestinya kita menganggap ini semua sebagai sebuah ”dosa” dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Maha Tahu.
Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang mulia, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan organisasi, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk pamrih, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah. Sebuah niatan yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan Yang Diatas. Dalam konteks inilah, dimensi spiritualitas dapat menjelma sebagai sebuah inner force yang kokoh dan mampu memotivasi kita untuk terus bekerja keras memberikan yang terbaik.
Perjalanan membangun dunia kerja yang profesional dan sarat dengan nilai-nilai kemuliaan adalah sebuah marathon, bukan sprint. Disana dibutuhkan ketekunan, kegigihan dan sikap istiqomah untuk terus menggedor nurani diri kita dengan kesadaran bahwa “hidup ini hanyalah merupakan pengabdian tanpa henti pada Yang Menciptakan Hidup”. Dibutuhkan sejenis ketegaran yang terus melengking : menyuarakan kesadaran untuk terus menancapkan etos spiritualitas dalam dunia kerja kita sehari-hari.
Dua dimensi spiritualitas yang telah kita bahas diatas selayaknya bisa terus mengendap dalam ruang batin kita. Sebab dengan itulah kita bisa bersama-sama merangkai sebuah bangunan dunia kerja yang indah dan mendapat limpahan berkah tanpa henti.
Sebab dengan itu pula, kelak ketika kita diwawanacarai oleh malaikat di ujung pintu surga, kita bisa menceritakan segenap pengalaman kerja kita dengan penuh senyum dan kebahagiaan.
Selamat bekerja, teman. Semoga hari ini pekerjaan Anda mendapat limpahan barokah yang terus mengalir……
Ditulis oleh : Yodhia Antariksa

Tuesday, January 5, 2010

Bila Istri Tak Pandai Masak


Tentang kepandaian memasak, masing-masing orang bisa memaknai berbeda. Secara umum, kepandaian memasak bukanlah suatu yang menjadi sangat penting dalam rumah tangga. Tuntunan kita, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menetapkan ukuran ideal bila seorang pria mencari wanita yang akan dinikahinya. Diantara agama, kecantikan, keturunan dan kekayaan, beliau menjaminkan kriteria agama sebagai yang utama. Agama adalah pintu menuju kebarokahan keluarga.
Namun bagi yang sudah menjalani pernikahan, rasanya perlu menarik ”urusan masak” ini dalam perspektif yang berbeda dan lebih mendalam. Akan sangat baik bila urusan masak dipahami sebagai bagian ketaatan atau kebaikan istri dalam upaya membahagiakan suami. Dengannya istri menunaikan kewajibannya dengan lebih sempurna.
Dan juga, memasak dengan tangan sendiri, adalah bentuk pertolongan istri dalam membantu meringankan beban suami. Khususnya dalam hal ekonomi. Sebuah keluarga muda bercerita bahwa mereka bisa menghemat pengeluaran untuk makan sampai 40% setelah membiasakan makan di dalam rumah.
Karenanya kemampuan memasak suatu ketika bisa menjadi faktor penting. Biar demikian, agar istri yang tidak mampu masak juga tak berkecil hati, perlu dipahami bahwa urusan masak bukanlah urusan bisa tidak bisa. Bakat memang mempengaruhi, hanyasanya ketiadaan bakat itu bisa ditutupi dengan belajar dan keberanian mencoba yang terus-menerus (ehem..bukan maksud menjadikan suami kelinci percobaan, loh).
Memasak adalah sesuatu yang semua orang bisa melakukan. Apalagi kalau kelas rumah tangga, sejatinya tak terlalu membutuhkan bakat dan insting istimewa.
Memutus Kebiasaan
Untuk merubah kebiasaan, dimana-mana harus dimulai dengan komitmen. Jangan berharap ada yang berubah bila komitmen terhadap perubahan itu sendiri sangat lemah. Termasuk kebiasaan jajan di luar. Menghentikan kebiasaan itu amat susah bila tidak dibarengi dengan komitmen dari suami dan istri.
Keputusan untuk tidak banyak makan di luar itu bisa dikuatkan dengan memperjelas dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Misalkan, dari segi ekonomi, akan muncul pembengkakan biaya yang sangat tinggi. Dari segi kesehatan, tak ada yang bisa menjamin bahwa makanan-makanan yang ada di luar itu bersih dan menyehatkan. Padahal, segala macam penyakit baik yang berskala ringan sampai yang berat, sebagian besar di akibatkan oleh makanan. Sedangkan bila masak sendiri, pasti kita akan memilihkan menu yang tak hanya enak, tapi juga menyehatkan dan halal. Kita betul-betul menjaga kebaikan dari makanan yang nantinya masuk ke dalam perut suami dan anak-anak.
Kendala terbesar untuk memutus kebiasaan makan di luar sejatinya hanya satu. Bila kita bisa menghilangkannya, maka kita akan berhasil. Yaitu kebiasaan tidak mau susah dan ingin serba instan.
Mendoakan Makanan
Ada satu hal kelebihan tersembunyi dalam urusan masak sendiri. Yaitu kita punya kesempatan mendoakan masakan yang kita buat. Ada rasa syukur dan kebahagiaan saat tangan mengolah bumbu-bumbu bersamaan dengan hati mengingat nikmat Alloh. Ada ketulusan cinta dan makna pengabdian.
Seorang ibu bercerita bahwa beliau biasa mengucapkan doa ”Ya Alloh, berkahilah makanan ini, jadikan jalan kebaikan dan kekuatan untuk suami dan anak-anak kami” ketika memasakkan makanan untuk keluarga. Subhanalloh, kalau begitu, makanan yang dimakan tidak hanya menghasilkan thayyib dan halal tapi juga berkah.
Jangan Jaim
Jaga Image, tidak mau dianggap tidak bisa masak. Biasanya terjadi kepada istri-istri yang takut kelihatan tidak bisa masak di hadapan mertua. Sebaiknya hal tersebut tak perlu dilakukan karena justru menghambat percepatan belajarnya dalam memasak.
Justru seharusnya, mertua adalah tempat belajar yang paling baik. Karena beliau pastinya sangat berpengalaman. Baik berpengalaman karena seringnya masak, juga berpengalaman dalam mengenali selera masakan anaknya. Kita bisa mencari tahu dari beliau, apa yang menjadi kesukaan suami kita.
Beli Makan = Biaya; Beli Buku = Investasi
Sekarang, istilah ”hanya yang berbakat masak yang bisa masak” sepertinya tak sepenuhnya benar. Istilah yang lebih tepat adalah, ”yang tahu ilmu masak yang bisa masak”. Karena sesungguhnya memasak adalah ilmu yang bisa dipelajari. Ya, saat ini bertaburan buku-buku yang menjelaskan tips dan cara membuat masakan. Semua buku memberikan penjelasan sangat detail. Mulai dari bahan sampai ukuran-ukuran. Tinggal mengikuti langkah-langkahnya, kita sudah bisa menyediakan masakan berkelas restoran. Semua orang pasti bisa. Mungkin yang tidak bisa hanya satu,  yaitu yang tak bisa baca.
Beli makanan di luar itu biaya. Tapi beli buku masakan adalah sebuah investasi. Dengan membeli dan mempraktekkan isi buku itu, pada saatnya anda akan sampai pada keahlian memasak. Tak perlu buka buku lagi, resepnya sudah ada diluar kepala. Insting rasapun juga sudah terasah tajam.
Maka investasikan sebagian uang untuk menambah ketrampilan-ketrampilan masak. Beli buku. Mungkin di awal ada pengeluaran tambahan. Tapi kedepan, justru kita bisa lebih menghemat pengeluaran.
Wanita Karir
Bagaimana dengan wanita karir?. Mereka tak memiliki waktu yang cukup lapang untuk memasakkan makanan untuk keluarganya.
Untuk wanita-wanita karir kadang memang butuh pengecualian. Kondisinya memang tak bisa disamakan dengan ibu-ibu yang tinggal di rumah (tidak berkarir). Realitas di lapangan, aktivitas yang dilakukan mereka hampir-hampir tak ada bedanya dengan aktivitas suami. Berangkat ke kantor bersama-sama. Pulang ke rumah juga waktunya sama.
Padahal kapasitas kekuatan fisik wanita lebih lemah daripada pria. Dalam kondisi ini butuh pengertian dari seorang suami. Istri yang berkarir telah merelakan tak menuntut haknya (yaitu berhak tidak bekerja dan tinggal di rumah) demi membantu perekonomian keluarga. Maka untuk satu kewajibannya yang lain, yaitu memasak, bila tak mampu ia lakukan kita harus mewajarkan.
Walaupun alasan sebenarnya kadang  bukanlah karena istri yang berkarir tidak mau memasak. Mereka hanya butuh pengertian dan pembagian. Ya, pengertian dan pembagian tugas yang semestinya bisa diambil alih oleh suami. Misalnya cuci baju, cuci piring, bersih-bersih kamar dan lain sebagainya. Bila ada kepastian bala bantuan begitu, pasti mereka punya banyak waktu untuk memasak. Karena menjadi rahasia umum, bahwa memasak sebenarnya sebuah hobby bagi sebagian besar wanita.